Penyebab Orang Lebih Kasar dan Agresif di Dunia Maya

An angry man holding a laptop

Hasil survei dan pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku manusia di dunia maya dan saat interaksi tatap muka. Banyak orang menjadi lebih kasar dan agresif saat mengemukakan pendapatnya di media sosial daripada saat berbicara secara langsung. Apa penyebabnya?

Interaksi sehari-hari manusia hampir seluruhnya didasarkan pada komunikasi nonverbal. Saat berinteraksi tatap muka dengan orang lain, kita terus memproses sinyal tanpa kata seperti ekspresi wajah, nada suara, gerak tubuh, bahasa tubuh, kontak mata, bahkan jarak fisik antara kita dengan orang lain. 

Sinyal nonverbal ini adalah jantung dan jiwa dari interaksi manusia. Kita tidak dapat memahami arti sebenarnya dari suatu interaksi jika kita tidak memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan sinyal nonverbal ini (seperti dalam kasus autisme). 

BACA JUGA: Amygdala, Bagian Otak Pembajak Emosi 

Sinyal nonverbal memungkinkan kita untuk menyimpulkan niat orang lain, serta seberapa terlibat mereka dalam percakapan, apakah mereka sedang stres atau santai, apakah mereka tertarik kepada kita, dan seterusnya. Pesan-pesan ini ada dalam semua jenis interaksi tatap muka, bahkan yang tidak melibatkan percakapan aktif. Sinyal nonverbal menambah kedalaman interaksi, tetapi menuntut upaya kognitif dan emosional.

Interaksi tatap muka 'mengaktifkan' serangkaian area otak yang konsisten. Area ini bertugas membantu kita membuat kesimpulan tentang keadaan mental dan emosi orang lain.

Saat interaksi di dunia maya, komunikasi didasarkan pada isyarat sosial yang minimal atau terbatas. Sebagian besar sinyal ditunjukkan dalam emotikon atau tanda baca. Oleh karena itu emosi lebih mudah disembunyikan saat mengirim email atau membuat post di media sosial. Dunia maya menjadi platform yang membuat orang dapat menjadi siapa saja dan apa saja yang diinginkan.

A woman holding a handphone in a train
Ketut Subiyanto/Pexels

Perbedaan perilaku orang di dunia maya dan saat tatap muka

John Suler, seorang profesor psikologi di Rider University menerbitkan sebuah artikel berjudul “The Online Disinhibition Effect” yang menganalisa karakteristik interaksi internet. Efek disinhibition online menggambarkan longgarnya batas dan hambatan sosial saat interaksi di dunia maya dibandingkan saat interaksi tatap muka.

Kondisi ini sering membuat orang lebih terbuka secara online, dapat berekspresi lebih bebas, berperilaku lebih kasar, agresif, dan jahat dibanding saat melakukan interaksi tatap muka.

John Suler membagi menjadi dua kategori utama perilaku yang termasuk dalam efek disinhibisi online, yaitu disinhibisi jinak (benign disinhibition) dan disinhibisi toksik (toxic disinhibition). Benign disinhibition adalah perilaku di mana orang lebih membuka diri, menunjukkan emosi, hal-hal yang personal, dan positif di dunia maya daripada di kehidupan nyata.

BACA JUGA: Hindari Post 6 Hali ini di Social Media

Toxic disinhibition di sisi lain menunjukkan perilaku orang yang menggunakan bahasa kasar, menunjukkan kemarahan, kebencian bahkan menebarkan ancaman di dunia maya. Mengunjungi website kekerasan, dark web dan sejenisnya termasuk dalam perilaku disinhibisi toksik.

Mengapa ada perbedaan perilaku orang di dunia maya dan saat tatap muka

Suler membagi menjadi 6 faktor penyebabnya:

1. Anonimitas disosiatif (“Saya tidak dikenal”)
Di dunia maya, orang dapat berinteraksi dengan orang lain secara anonim. Merasa tidak dikenali identitasnya membuat orang menjadi aman dan merasa terlindungi sehingga dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa membahayakan identitas mereka.

2. Tidak terlihat (“Saya tidak terlihat”)
Dunia maya memberikan "tameng" yang membuat penggunanya tidak terlihat. Kondisi ini membuat orang merasa nyaman, tidak perlu khawatir tentang sinyal nonverbal dan membuat orang bernyali untuk melakukan hal-hal yang tidak berani mereka lakukan di dunia nyata. Keadaan "tidak terlihat" ini juga memungkinkan orang untuk mengubah identitas seperti kasus pria yang mengaku sebagai wanita di dunia maya, atau sebaliknya.

3. Asinkronisitas (“Sampai jumpa lagi”)
Percakapan dunia maya tidak selalu berjalan real time. Saat membuat postingan media sosial ada jeda waktu untuk pihak lain membaca apa yang kita tulis. Ini dapat memberikan kesan yang berbeda dan menyebabkan reaksi yang berbeda pula.

4. Introjeksi Solipsistik (“Semuanya ada di kepalaku”)
Tanpa tatap muka, saat membaca pesan dunia maya orang berimajinasi akan karakter dan persona dari lawan bicara. Teman dunia maya menjadi karakter yang dibentuk oleh harapan dan kebutuhan pribadi kita.

5. Imajinasi Disosiatif (“Ini hanya permainan”)
Orang mungkin melihat dunia maya sebagai tempat bermain di mana aturan normal interaksi sehari-hari tidak berlaku. Kondisi ini membuat pengguna dunia maya merasa dapat dengan mudahnya menjadi orang lain lalu melarikan diri hanya dengan login dan logout dari internet.

6. Minimalisasi Status dan Otoritas (“Aturan kalian tidak berlaku di sini”)
Status dan figur berotoritas tidak terlihat secara fisik di dunia maya, membuat orang tidak merasa terintimidasi. Dunia maya memberikan platform untuk berekspresi dengan bebas tanpa memandang otoritas dan status.

A guy resting checking a modern handphone
Eren Li/Pexels

Penyebab orang berperilaku lebih kasar dan agresif di dunia maya

Mengacu pada penyebab perbedaan perilaku menurut Suler, perilaku kasar dan agresif di dunia maya adalah karena orang merasa anonim, tidak terlihat sehingga tidak diketahui keberadaannya membuat pengguna dunia maya merasa aman untuk menjadi apapun serta melakukan apapun yang diinginkan. Dapat dengan mudahnya mengeluarkan rasa frustasi dan marah tanpa harus menghadapi resiko seperti jika dilakukan secara tatap muka.

Imajinasi disosiatif juga mengaburkan garis antara kenyataan atau hanya main-main. Orang merasa berkata kasar, agresif mencaci maki bahkan ancaman hanya sebagai candaan, permainan yang jika ada konsekuensi dapat dihindari semudah logout dari dunia maya.

BACA JUGA: Mengenal 4 Hormon Pemicu Rasa Bahagia

Merasa setara dengan siapapun di dunia maya, menaikkan rasa percaya diri untuk melawan otoritas, menghilangkan etika dan membuat orang merasa berhak untuk berekspresi sesuka hatinya.

Faktor ikut-ikutan dan FOMO juga berperan penting dalam perilaku pengguna dunia maya. Seringkali menjadi agresif dan kasar di dunia maya mendapat tanggapan seperti komentar balik, like dan retweet membuat pengguna merasa mendapatkan perhatian, dukungan dan menjadi bagian dari tren yang sedang berjalan. 

Bijak dalam menggunakan media sosial dan berselancar di dunia maya sangat dibutuhkan saat ini mengingat semakin besarnya porsi waktu yang dihabiskan di dunia maya belakangan ini. Menyadari bahwa interaksi sosial di dunia maya sama pentingnya dengan interaksi langsung yang artinya ada etika dan aturan yang harus dijalankan serta konsekuensi yang harus dihadapi dalam setiap tindakan yang dilakukan.


Daftar Pustaka:
Online Disinhibition Effect (Suler)
The Psychology Behind Social Media Interactions 

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

0 comments